10 Tempat yang Mungkin Lebih Dahulu Lenyap Akibat Perubahan Iklim Ekstrim

Minggu, 27 Februari 2011

Perubahan iklim yang ekstrim dapat mengakibatkan hilangnya ciri dari sebuah daratan. Entah itu naiknya permukaan laut, penggurunan, angin musim yang deras, gletser meleleh atau pengasaman laut, perubahan iklim dengan cepat akan mengubah daratan planet kita.

Kita mungkin akan menjadi salah satu generasi terakhir yang dapat melihat dan mengenali 10 tempat di bawah ini yang kemungkinan akan lenyap terlebih dahulu apabila terjadi perubahan iklim yang ekstrim.


1. Taman Nasional Glacier

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcaVluCzrA4CY-q4gzu25a1tvSM78SkO4ig_ObcWZ4HNDiBBltmGHPzZJUVMMpv-lqIhNz-MY7G_0sC5XRi-WT1KPECwGPC6j2wvqmTn-BX2MfwcE_qRYwo0bycQXU3h0gPcvT_d2Cn3RZ/s1600/glacier_national_park1.jpg

Lebih dari 100 tahun yang lalu, ada sebanyak 150 gletser bertebaran di seluruh Glacier National Park. Pada tahun 2005, hanya tinggal 27 dan diperkirakan mereka juga akan menghilang pada tahun 2030, atau bahkan sebelum itu.

Banyak dari spesies tanaman dan hewan yang membutuhkan air dingin, yang berarti ekosistem taman dapat berubah secara dramatis ketika gletser hilang.



2. Venesia, Italia


Venesia pernah mengalami banjir parah pada bulan November 2009, ketika tingkat air mencapai 131 cm. Venesia telah lama tenggelam, tapi naiknya permukaan air laut telah membuat situasi lebih mengerikan.

Frekuensi banjir meningkat setiap tahun, meninggalkan banyak pertanyaan berapa lama lagi Venice bisa tinggal di atas air.



3. Great Barrier Reef


Great barrier reef dapat dilihat dari angkasa, tapi muilai menghilang secara bertahap seiring perubahan iklim. Meningkatnya suhu lautan, pencemaran air, pengasaman laut dan badai terus merusak terumbu dan telah menyebabkan pemutihan karang massa.



4. Sahara Afrika


Sahara di Afrika semakin bertambah luas dengan perluasan 0,5 kilometer per bulan. Gurun ini sudah menjadi terbesar di dunia, dan masih bisa meluas lagi kesemua Afrika Utara, mengubah lingkungan benua afrika.



5. Maladewa


Maladewa adalah negara terendah di dunia, dengan ketinggian rata-rata hanya 1,5 meter (4 kaki, 11 inci) di atas permukaan laut. Jika permukaan air laut naik terlalu banyak, negara itu bisa mendapatkan sebuah gelar yang tidak diinginkan, "Negara pertama yang ditelan oleh laut karena pemanasan global."



6. Patagonia


Sebuah keindahan yang tak tersentuh, Patagonia, Amerika Selatan bisa secara dramatis diubah oleh perubahan iklim.

Banyak dinding gletser yang gugur karena meningkatnya suhu dan curah hujan menurun. Meskipun tanah ini tidak akan hilang sepenuhnya, namun pemandangan yang ada akan sangat berbeda jika pemanasan global terus berlanjut.



7. Bangladesh


Terletak di Sungai Gangga-Brahmaputra dataran rendah Delta, Bangladesh berada pusat di badai yang sempurna pada kondisi klimaks. Sekitar 50 persen dari luas wilayahnya akan banjir jika permukaan laut naik 1 meter.

Bencana alam, seperti banjir, siklon tropis, tornado dan pasang surut terjadi di sini hampir setiap tahun sehingga meninggalkan kehancuran yang tragis.



8. Alaska tundra


Pemanasan global memanaskan Arktik dua kali lebih cepat dari seluruh wilayah di dunia, yang berarti Alaska tundra utara yang indah bisa menghilang sepenuhnya bila suhu terus meningkat.

Apabila Alaska tundra mencair, tidak hanya mengubah secara drastis ekosistem, tetapi juga melepaskan karbon tambahan dan ironisnya dapat mempercepat pemanasan global.



9. Australia Selatan



Sama seperti Sahara di Afrika, penggurunan mengancam Australia Selatan. Di seluruh wilayah, pasokan air segar cepat mengering.

Sementara itu, dataran kering meningkatkan terjadinya kebakaran hutan, mengancam pertanian, satwa liar dan ratusan rumah di Australia.



10. Alpen


Alpen Eropa berada di ketinggian lebih rendah dari Rocky Mountains, dan gletser serta resor ski nya lebih rentan terhadap dampak dari pemanasan global. Gletser yang terkenal ini diperkirakan akan menghilang pada tahun 2050.

Mungkinkah Kita Bisa Menghasilkan Keturunan di Luar Angkasa?

Jika suatu saat nanti manusia harus meninggalkan bumi karena sudah tidak layak untuk dihuni, kita tetap perlu menghasilkan keturunan. Bahkan saat kita sedang dalam perjalanan menuju tempat tinggal yang baru itu.

Akan tetapi, sejauh mana peluang untuk mendapatkan keturunan saat manusia telah meninggalkan planet bumi ini?

http://www.xcor.com/press-releases/2008/images/lynx_suborbital_ascent.jpg
Lynx, konsep pesawat yang mengangkut manusia ke luar angkasa.

Dari penelitian yang dilakukan sejumlah ahli, tampaknya hal tersebut sulit terjadi. Pasalnya, ruang angkasa sendiri sebenarnya merupakan sebuah sistem kontrasepsi yang sangat besar.

Hasil penelitian khusus, seputar seks di ruang angkasa menyimpulkan bahwa radiasi kosmik akan membombardir tubuh manusia dengan kuantitas yang besar selama perjalanan di luar angkasa. Selain itu, tinggal di Mars, misalnya, dalam waktu yang lama akan menurunkan jumlah sel sperma.

Janin yang sudah terbentuk tidak akan berkembang secara sempurna di lingkungan ruang angkasa. Meski saat ini ruang di pesawat angkut telah dilengkapi dengan pelindung radiasi yang lebih baik, tetap saja itu tidak cukup untuk melindungi zigot untuk berkembang.

Jika bayi berhasil keluar dari kandungan, peluang bayi itu mengalami cacat yang diakibatkan oleh radiasi sangat besar.

Dan masalah tidak hanya sampai di situ. Dari penelitian terhadap hewan yang dikirim ke luar angkasa, imbas radiasi bisa membunuh sel telur pada janin.

Bayi akan terlahir dalam kondisi mandul. Artinya, itu akan mempersulit umat manusia berkembang di planet baru itu nantinya.

Menurut Richard Jennings, pakar medis ruang angkasa asal University of Texas, astronot memang terbukti tetap mampu membuahi pasangannya setelah ia kembali ke Bumi.

Akan tetapi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap astronot yang menunaikan misi di luar angkasa dalam periode waktu lebih lama.

Dari sisi teknis, masih ada tantangan bagi manusia yang ingin menunaikan tugasnya di luar angkasa. Kostum ruang angkasa saat ini cukup berat dan tidak menyediakan banyak kemudahan untuk 'berhubungan intim'. Dan sayangnya, manusia tetap perlu menggunakan pakaian khusus.

Alasannya, dalam kondisi tanpa gravitasi, keringat atau cairan lain yang keluar dari tubuh berpotensi dapat merusak perangkat elektronik pesawat. Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa manusia lebih berkeringat saat di luar angkasa.


Namun demikian, tetap saja ada hambatan lain yang telah disiapkan ruang angkasa. Mekanisme tubuh manusia tidak memungkinkan itu terjadi.

Jika manusia ingin mendiami planet lain, antariksawan harus melakukan perubahan besar-besaran pada pesawat ruang angkasa agar penjelajah di masa depan bisa bertahan lebih lama di luar angkasa dan mampu menunaikan tugas alaminya.

50 Website Teriseng Dan Terjail

Sabtu, 19 Februari 2011

Ringkasan ini tidak tersedia. Harap klik di sini untuk melihat postingan.

About Us

Total Pageviews